Aldoris Armialdi: Lawan Narasi 'Terzalimi'

    Aldoris Armialdi:   Lawan Narasi 'Terzalimi'
    Oleh : Aldoris Armialdi (Pimpinan Perusahaan Kabardaerah)

    OPINI - Berkaca pada masa reformasi dulu, perolehan suara PDI Perjuangan melejit, begitu juga dengan perolehan suara SBY-JK pada pemilu 2004. Pun terjadi pada suara Jokowi-JK di tahun 2014. Secara pandangan, mereka selalu mengawali narasi politik dengan dengan kata "terzalimi" oleh penguasa saat itu.

    Dan sudah menjadi pandangan umum, narasi "zalim dan dizalimi" sengaja didesain oleh konsultan, tim maupun oleh calon yang akan melawan pertahana. Dalam pandangan para ahli politik, fenomena seperti itu dikenal dengan istilah melodrama politik.

    Melodrama politik dipergunakan untuk membangkitkan emosi publik agar mendapatkan dukungan walau secara fakta dan logika tidak bisa dibuktikan kepada publik. Dan pada akhirnya kelompok yang menghembuskan melodrama ini, seakan akan korban kezholiman penguasa.

    Cara mendapatkan dukungan untuk sebuah kebijakan dan tindakan seperti ini, selalu mengedepankan suara untuk berjuang melawan kejahatan, intimidasi dan lain sebagainya, walaupun ia sendiri tahu jika hal itu adalah melodrama.

    Disisi lain, pemain melodrama politik ini selalu menggambarkan lawan-lawan politik mereka sebagai penjahat yang berlaku zalim dan harus dilawan. Pemain melodramakah calon yang ada disekeliling anda? 

    Ada satu buku yang penulis baca, tentang seorang tokoh yang mengenalkan teori melodrama dalam politik, yakni Kenneth Burke (1897-1993) seorang filsuf, kritikus, dan retoris Amerika. Ia orang yang telah mengembangkan teori melodrama dalam politik dengan menuliskan dalam sebuah buku yang berjudul "A Grammar of Motives" yang terbit di tahun 1945.

    Terjemahan dalam buku itu, Burke berpendapat bahwa melodrama adalah struktur naratif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk wacana, termasuk politik. melodrama ini memiliki bermacam karakteristik.

    Pertama, melodrama pada konflik moral antara kebaikan dan kejahatan. Menggambarkan layaknya sebuah sinetron yang happy ending-nya adalah kemenangan kebenaran atas kejahatan. 

    Kedua, alur perjalanan perjuangan yang tertindas dan bergerak pada klimaks perubahan atau revolusi. 

    Ketiga, karakter yang menanamkan ke dalam kelompok kecil, perbandingan antara baik dan jahat. Lalu diikuti dengan menjaga jarak dengan kelompok yang berbeda keyakinan tersebut.

    Pengunaan bahasa dan narasi "terzhalimi" ini sering kali kita lihat cukup emosional, meletup-letup dan penuh perumpamaan. Narasi "terzhalimi" adalah visual yang dimainkan untuk mencari simpatik, dukungan  yang terkadang disampaikan secara dramatis.

    Dalam politik, penggunaan retorika melodrama juga menggambarkan perang melawan kejahatan. Menggunakan retorika melodrama hanya sebuah gambaran dalam konflik politik internal. Mereka menganggap  lawan politik sebagai penjahat yang akan mengancam kebebasan dan demokrasi.

    Melodrama politik ini juga dijadikan narasi visual oleh calon yang ikut pada kontestasi pilkada di Tanah Datar tahun 2024, Richi Aprian (RA) sering menjadikan narasi ini sebagai alat melodrama yang hampir setiap pertemuan bernarasi "terzhalimi". Yang diyakininya cukup efektif melawan prestasi pertahana Eka Putra (EP). 

    Dengan membangun narasi visual terzhalimi, RA merasa cukup yakin dapat memobilisasi massa, walau RA tidak mampu membuktikan seperti apa zhalim yang ia dapat selama 3, 5 tahun namun tetap menikmati fasilitas negara yang disediakan sebagai wakil EP. 

    Melodrama politik adalah alat untuk memanipulasi publik, sebuah alat untuk mengadu domba masyarakat untuk tidak mengakui sebuah prestasi yang sudah dibuktikan oleh lawan politik. Disisi lain, melodrama digunakan oleh kelompok yang belum mampu menunjukan prestasi kepada publik. Cenderung kelompok seperti ini, haus akan kekuasaan. 

    Pilkada Kabupaten Tanah Datar, masih belum baik-baik saja, perang fitnah, perang medsos menjadi platform untuk membodohi masyarakat. Bahkan dalam setiap prestasi selalu dilawan dengan narasi-narasi yang tidak bisa dibuktikan. 

    Masyarakat tentu harus berhati-hati dalam pengambilan keputusan politik serta jeli dengan kondisi seperti ini. Dengan menunjukkan sikap kedewasaan politik, masyarakat Tanah Datar tidak akan terlena oleh melodrama seorang politisi.

    Kami menilai, dengan melakukan melodrama politik ini adalah sebuah kecerobohan yang ditunjukan dalam berpolitik. Karena masyarakat sudah membuktikan dan juga sudah menikmati. Yang belum itu hanya sebagian kecil saja yang di ikat oleh aturan lain. 

    Menjadikan melodrama seperti ini adalah tindakan politik "bunuh diri" di sebuah daerah seperti Tamah Datar ini. Yang masyarakatnya tidak lagi ingin diimingi oleh janji dan janji. Sementara yang lain sudah membuktikan. Itu harus kita akui.

    Politisi yang mengunakan melodrama dalam kampanye politik diekspresikan sebagai tokoh bak pahlawan yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Di sisi lain, lawan-lawan politiknya digambarkan sebagai penjahat yang korup atau tidak kompeten. Sementara ia belum mampu mempertontonkan prestasi ataupun bukti perbuatan yang telah ia berikan kepada masyarakat.

    Tentunya teori ini tidak akan mampu membodohi masyarakat Tanah Datar, karena visual melodrama hanya untuk orang yang sering menonton RTV dari siang hingga malam tanpa bisa bekerja dengan nyata. Siapa yang berupaya menggiring opini "terzalimi"? (**)

    Oleh : Aldoris Armialdi
    (Pimpinan Perusahaan Kabardaerah)

    Farid Al Kausar

    Farid Al Kausar

    Artikel Sebelumnya

    Sampaikan Duka Mendalam, Calon Bupati Eka...

    Artikel Berikutnya

    Kaum Perempuan Pariangan Dukungan untuk...

    Berita terkait